SQ: Hakikat Sastra Pesantren ( Esai Sastra Pesantren )
SQ:
Hakikat Sastra Pesantren[1]
Farikhatul ‘Ubudiyah
Pada
beberapa waktu lalu, IAIN Purwokerto mengadakan sebuah seminar bertajuk Revitalisasi
Sastra Santri yang salah satu narasumbernya Acep Zamzam Noor. Dari pembicaraannya, saya mengambil
kesimpulan dasar bahwa ‘menulis itu hidayah. Hidayah adalah unta yang terlepas
di padang pasir’. Cukup membuat saya memiliki bayangan betapa susahnya mencari
unta itu. Jika tidak tahu area, maka mendekati mustahil kita menemukannya.
Namun hidayah itu urusan Allah yang akan menunjukkan. Sementara santri adalah
karakter.
Meski selama
ini sudah bertebaran sastra bergenre religi, masih saja banyak istilah untuk
menyebutkannya. Misalnya, sastra Islam, sastra profetik, sastra ibadah, sastra
sufistik, juga sastra pesantren. Di Indonesia sendiri, perkembangan sastra
memang dimulai dari genre tersebut. Masuknya Islam di Nusantara membawa budaya
sastra. Budaya kesusastraan Melayu berasal dari sastra Arab-Islam. Hal ini
dapat dilihat dari masuknya karya-karya sastra Arab yang bernuansa sufistik,
antara lain Kasidah Burdah, Kasidah Barzanjy, dan Kasidah Diba’i
(Manshur, 2011: 13). Sampai sekarang, ketiga puisi Arab klasik itu masih terus
menggema di masyarakat sebagai pujian kepada Nabi Muhammad saw.
Keberadaan
sastra pesantren tidak lepas dari tradisi keilmuan Islam yang masuk di Nusantara
pada abad ke-13 Masehi. Pada saat itu, tasawuf adalah orientasi yang menentukan
corak keilmuan dan watak tradisi keilmuan di pesantren. Di Jawa, peran
pesantren tidak lepas dari syi’ar Wali Songo pada abad ke-15-16 Masehi dengan
karya syi’irnya. Pada perkembangannya, abad ke-16-17 Masehi ditandai munculnya
paham tasawuf yang dikembangkan oleh seorang ulama Aceh, Hamzah Fansuri
(Manshur, 2011: 116). Namun dalam tulisan ini saya tidak akan menyoal sejarah
pesantren yang sekarang tumbuh subur di Indonesia.
Saya
meyakini bahwa santri bukan hanya orang yang tinggal di pondok pesantren,
melainkan semua orang yang mendalami agama Islam. Sifat kesantrian akan melekat pada orang
yang memberi makna terhadap hidup. Barangkali inilah yang dimaksud “hidayah”
oleh Acep Zamzam Noor. Namun bagaimana dengan makna sastra pesantren? Bisa dibilang, sastra yang tumbuh di
pesantren dengan berbagai nuansa tasawuf dan ke-Islaman-nya, atau sastra yang
dibuat oleh civitas pesantren.
Kajian di
pesantren pun bercorak sastra. Selain kitab kuning yang lekat dengan utawi
iki iku-nya (Pesantren di Jawa), juga nadhom dalam beberapa kitab
yang berfungsi sebagai penyampaian makna dan seni berbahasa. Namun sastra
pesantren tidak hanya sebatas kitab-kitab berbahasa Arab dengan berbagai kaidahnya.
Misalnya, nama Zaid yang senantiasa disebut-sebut dalam matan dan nadhom di ilmu
nahwu dan shorof lebih dari sekedar nama orang, tetapi bermakna doa kepada
santri. Selain itu, perkembangan sastra pun harus diiringi dengan penciptaan
karya yang lebih modern (meskipun tidak semua pesantren mendukung kegiatan
penulisan sastra bagi santrinya).
Kembali
kepada pemaknaan “hidayah” di atas, sastra adalah budi baik yang disampaikan
pengarang. Sebagaimana teori Plato, suatu karya seni yang mengandung keindahan
dan bermutu bila karya tersebut mampu mencerminkan ajaran moral (Minderop,
2013: 63). Bahkan, Ben Wilson (2010: 2) dan Ben Johnson (Minderop, 2013:63)
mengungkapkan bahwa dengan puisi, penyair bisa menanamkan nilai-nilai moral,
keberanian, kesopanan, kemuliaan, hiburan, motivasi, dan perilaku baik lainnya.
Cerminan perilaku baik inilah yang bisa dikembangkan dalam bahasan karya sastra
pesantren.
Saya teringat pada Danah Zohar dan Ian
Marshal yang banyak mengutip puisi-puisi spiritual dalam buku SQ. SQ (Spiritual
Quotient) memungkinkan manusia menjadi kreatif, mengubah aturan dan
situasi, memberi kemampuan membedakan, memberi rasa moral, juga kemampuan
menyesuaikan aturan yang kaku. SQ berhubungan dengan ihwal baik dan jahat,
serta untuk membayangkan kemungkinan yang belum terwujud—untuk bermimpi,
bercita-cita, dan mengangkat diri dari kerendahan (Zohar dan Marshal, terj.
Astuti dkk. 2011: 4-5). Inilah, yang menurut saya menjadi gagasan tema-tema
yang diketengahkan pada sastra pesantren.
Salah satu puisi yang dikutip Zohar dan
Marshal adalah puisi yang diungkapkan sufi besar abad ketiga belas, Ibn
Al-‘Arabi dalam The Tarjuman Al-Asywaq (Zohar dan Marshal, terj. Astuti
dkk. 2011: 259):
Hatiku mampu menerima setiap bentuk: ia
adalah hamparan
padang rumput bagi rusa dan biara untuk
pendeta Kristen,
Dan kuil bagi berhala dan Ka’bah bagi para
haji
dan lembaran Taurat serta kitab Al-Qur’an.
Aku menganut agama Cinta: jalan mana pun
yang diambil oleh unta-
unta Cinta, itulah agama dan keyakinanku.
Pemaknaan spiritual dalam puisi di atas
tidak melulu soal agama tertentu, tetapi keadaan batin pengarang. Kepercayaan
dan pemaknaan hiduplah yang membuat puisi tidak hanya menawarkan susunan
bahasa, simbol, metafora, ataupun stilistika lainnya, tetapi ada ruh yang
membuat ketengangan batin pengarang dan pembaca. Selain itu, ketika orang telah tersentuh
batinnya pada spiritualitas, dia akan lebih toleran kepada orang lain.
Kuntowijoyo (2013: 10-15) dalam maklumat
sastra profetik dengan jelas mengatakan bahwa sastra yang disebutnya dengan
“sastra ibadah” memiliki kaidah epistemologi strukturalisme transendental,
sastra sebagai ibadah, dan keterkaitan antar kesadaran. Dari Tuhan ke manusia
adalah suatu keterkaitan. Kesadaran ketuhanan harus mempunyai kontinum kesadaran
kemanusiaan, dan sebaliknya. Misalnya, dalam puisi Makrifat Daun Daun
Makrifat, Kuntowijoyo menulis bait puisinya dalam 7 bagian. Setiap bagian ada dua bait, dimana bait
pertama adalah terjemahan bait al-Barzanji. Berikut puisi Makrifat
Daun Daun Makrifat 1.7 (Kuntowijoyo, 2013: 48):
Ya, Allah. Taburkanlah wangian
di kubur Tercinta yang mulia
dengan semerbak salawat
dan salam sejahtera
aku ingin
jadi pencuri
yang lupa menutup jendela
ketika menyelinap
ke rumah Tuhan
dan tertangkap
Spiritualitas dan keinginan bertemu dengan
Tuhan adalah nuansa yang senantiasa dibangun dalam sastra Islami. Penanaman
karakter (baik) menjadi tujuan dibangkitkannya sastra. Sebab dengan sastra,
keseimbangan kehidupan menjadi ada. Maksudnya, sastra membuat hati atau ruhani
kita menjadi lembut. Sebaliknya, hidup tanpa sastra akan terasa kering dan
kasar. Di era mass media dan social media ini, sastra pun tumbuh
subur dari beragam genre.
Lantas, pada sastra pesantren saya tidak
hanya menemukan makna kehidupan akhirat, tetapi juga nilai sosiokultural. Tidak
melulu air mata yang berakar dari pengakuan dosa, tetapi juga humanisme serta
politik. Tidak hanya doa-doa yang dipamerkan, tetapi juga eksplorasi tradisi di
daerah penulis. Bukankah dinamika sastra pesantren berhulu pada sastra Agung,
yaitu Al-Qur’an?
Daftar Pustaka
Kuntowijoyo. Maklumat Sastra Profetik:
Kaidah, Etika & Struktur. Yogyakarta: Multi Presindo,
2013.
Manshur, Fadlil Munawwar. Perkembangan
Sastra Arab dan Teori Sasra Islam. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2011.
Minderop, Albertine. Psikologi Sastra:
Karya Sastra Metode, Teori, dan Contoh Kasus.
Jakarta: Pustaka Obor, 2013.
Wilson, Ben. “Using Poetry in
Psychotherapy”, dimuat di International Journal of Scholarly Academic Intellectual Diversity, Vol. 12 Nomor 1,
2010.
Zohar, Danah & Ian Marshal. SQ: Memanfaatkan Kecerdasan
Spiritual dalam Berpikir
Integralitik dan Holistik untuk Memaknai Kehidupan. Terj. Rahmani Astuti, Ahmad Nadjib Burhani, Ahmad Baiquni. Bandung:
Al Mizan: 2001.
[1]
Tulisan ini pernah dimuat
dalam antologi esai: Mohammad Roqib (Ed.), Revitaslisasi Sastra Pesantren,
Purwokerto: Penerbit Pesma An Najah Press, 2016.
Ditulis oleh :
Farikhatul 'Ubudiyah, lahir di Banyumas pada 21 Oktober 1995. Sedang belajar di Fakultas Dakwah IAIN Purwokerto
0 Response to "SQ: Hakikat Sastra Pesantren ( Esai Sastra Pesantren )"
Posting Komentar